Abstract :
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan ekokritik
sastra, (2) mendeskripsikan novel Burung Kayu dan biografi Niduparas Erlang, dan (3)
mendeskripsikan dimensi ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Objek
yang diteliti adalah dimensi ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu karya
Niduparas Erlang. Pendekatan penelitian objek ini adalah pendekatan wacana.
Pendekatan wacana dalam ekokritik sastra menekankan penelitian kepustakaan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa sumber yang membahas
ekokritik sastra berupa buku, jurnal, dan dalam internet. Sumber-sumber ini
membantu penulis untuk membahas ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu.
Teknik analisis isi digunakan untuk menemukan dimensi ekokritik sastra dalam novel
Burung Kayu. Ada tiga langkah dalam menganalisis isi, yaitu (1) membaca novel
Burung Kayu secara berulang-ulang, (2) meramu data dan mendalami teori yang
berkaitan dengan tema penelitian, dan (3) mempelajari dan menganalisis data-data itu.
Data-data itu berupa kata, frasa, atau kalimat dalam novel Burung Kayu.
Berdasarkan analisis penulis ditemukan bahwa novel Burung Kayu memuat
dimensi ekokritik sastra. Dimensi ekokritik sastra ditandai oleh dua ideologi, yaitu
antroposentrisme dan ekosentrisme. Di dalam novel Burung Kayu, antroposentrisme
tampak dalam usaha pemerintah Indonesia memodernkan masyarakat suku Mentawai.
Pemerintah memaksa pindah masyarakat suku dari kediaman mereka di hutan-hutan
ke tempat buatan pemerintah sendiri. Hutan merupakan tempat kelompok masyarakat
ini menggantungkan hidup jasmani dan praktik-praktik kebudayaan. Namun, ada niat
lain di balik penyingkiran masyarakat suku itu. Pemerintah menyerahkan konsesi
hutan itu kepada perusahaan-perusahaan kayu. Korporasi-korporasi ini justru
mengelola hutan secara tidak bertanggung jawab. Hutan digundulkan. Ini berakibat
pada rusaknya ekosistem hutan dan terkoyaknya masyarakat suku Mentawai dari
kebudayaan mereka. Di samping antroposentrisme ada ekosentrisme. Di dalam novel
Burung Kayu, ekosentrisme tampak dalam diksi-diksi hijau yang digunakan untuk
menggambarkan kehidupan masyarakat suku Mentawai sebelum kebudayaan modern
mengintervensi kehidupan mereka. Ekosentrisme dipromosikan ekokritik sastra untuk
melawan antroposentrisme. Novel Burung Kayu menunjukkan keberpihakannya
kepada lingkungan. Masyarakat suku Mentawai bersedia hidup secara modern, tetapi
penggundulan hutan tidak dapat diterima.
Sastra sebagai sebuah ilmu turut berkontribusi menyelesaikan
masalah-masalah lingkungan. Ekokritik sastra menyediakan ruang bagi manusia
untuk merefleksikan masalah-masalah lingkungan. Orientasi ekokritik sastra adalah
mengubah cara manusia memikirkan dan memandang lingkungan, dari yang
antroposentrik kepada yang ekosentrik.