Abstract :
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: pertama, mendeskripsikan Tiktok
sebagai media yang sedang tren dan digandrungi oleh masyarakat dewasa ini serta
menjelaskan praktik komodifikasi tubuh yang terjadi dalam aplikasi TikTok.
kedua, menjelaskan makna esensial dari Teologi Tubuh Yohanes Paulus II dalam
meninjau fenomena komodifikasi tubuh dalam aplikasi TikTok.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif-kualitatif. Penulis mengkaji dan mendalami pelbagai sumber yang
berhubungan dengan tema tulisan ini. Sumber-sumber antara lain buku-buku,
artikel, jurnal, skripsi, artikel ilmiah, dokumen Gereja dan sumber dari internet.
Berdasarkan hasil analisa disimpulkan bahwa, 1) TikTok tidak hanya
dilihat sebagai media penyaji hiburan dan wadah aktualisasi diri, tetapi TikTok
telah menjadi lokus baru komodifikasi tubuh. Komodifikasi tubuh dimengerti
sebagai tubuh yang dimodifikasi dan diubah menjadi komoditas yang dapat
dipertukarkan untuk memperoleh keuntungan seperti uang dan popularitas.
Dengan balutan kreativitas dan didukung fitur, algoritma dan ekosistem yang
menarik, mudah dan ringkas, TikTok telah mengubah tubuh menjadi modal yang
mesti dirawat, dikontrol dan dimodifikasi. Akibatnya, tubuh yang dibenamkan
dalam aplikasi TikTok dapat berdiri sendiri di luar konteks manusianya. 2)
Yohanes Paulus II melihat perkembangan internet komunikasi dan teknologi
sebagai areopagus, pijakan budaya untuk mewartakan Kristus dan forum baru,
yang mesti dimasuki. Keterlibatan dalam forum baru ini mesti dilandaskan pada
etika yang autentik dalam konteks pelaksanaan kebebasan dan tanggung jawab
yang matang. 3) Yohanes Paulus II dalam ajaran teologi tubuh mengkritik konsep
yang memisahkan tubuh yang terpisah dari konteks manusianya. Tubuh bukan
hanya onggokan daging, melainkan komunikasi yang paling konkret dan
berwujud. Karena itu, tubuh yang hadir dalam setiap perjumpaan menampilkan
kesatuannya dengan pribadi. Kesatuan antar tubuh dengan pribadi ini tergambar
melalui bahasa dalam tubuh manusia yang telah tercetak sejak manusia
diciptakan. Bahasa dalam tubuh ini merupakan bagian integral dari tanda
sakramental yang subjeknya adalah manusia. Tubuh dapat mengungkapkan apa
yang tidak terlihat menjadi terlihat. Sehingga tubuh memiliki nilai keluhuran dan
keilahiannya. Selanjutnya, Yohanes Paulus II memberikan ethos tubuh untuk
menghindari perendahan nilai keluhuran saat tubuh dihadirkan dalam ruang
digital. Ada tiga hal yang ditegaskan dalam ethos tubuh ini. Pertama, identifikasi
ontologis tubuh, kesatuan tubuh dengan pribadinya. Kedua, tubuh sebagai model
transfigurasi, bukan sekadar objek reproduksi. Ketiga, tubuh mengungkapkan
makna nupsial.